KECERDASAN NUBUWAH SYARAT UNTUK MEMPEROLEH MANISNYA IMAN (07022020)

 Dr. H. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M 

Dalam sebuah hadis Bukhari, Nabi bersabda “tsalātsun mankunna fīhi wajada alāwat al-imān” ada tiga perkara jika terdapat pada diri seseorang dirinya akan merasakan manisnya iman. Kemudian Nabi menyebutkan ketiga hal tersebut. Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih patut dicintai lebih dari segalanya. Kedua, mencintai seseorang harus dilandasi kecintaannya kepada Allah. Dan ketiga, benci kembali pada kekufuran, sebagaimana ia membenci dicampakkan ke dalam api nerakan.

Dalam pengalaman hidup sehari-hari, setiap Muslim sejati pasti mengaku diri merasakan ketiga hal tersebut di dalam dirinya. Jika seorang Muslim diberi pilihan, manakah lebih ia cintai Allah dan Rasul-Nya, atau kedua orang tuannya. Pasti ia akan menjawab bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada kedua orangtuannya. Jika seorang Muslim kembali, apakah ia mencintai kedua orangtuanya karena menaati perintah Allah dan Rasul-Nya, dengan mantap ia akan menjawab iya. Terakhir, jika seorang muslim kembali ditanya, apakah ia senang jika diakhirat kelak dimasukkan dalam neraka, tanpa keraguan ia menjawab tidak.

Meskipun secara normatif semua orang beriman membuat “pengakuan” jika ketiga hal tersebut terdapat dalam pribadinya. Namun faktanya, kebanyakan dari orang beriman tetap belum mampu merasakan manisnya iman (alawah al-imān) sebagaimana yang disebut dalam hadis tadi. Bahkan sebaliknya seorang beriman sering merasakan kegelisahan spiritual (spiritual anxiety). Jadi dalam hal ini, manisnya iman hanya sebatas pengakuan lisan tapi ditolak oleh hati. Apa yang salah dengan diri kita dalam membaca, memahami dan menerapkan hadis ini. Kenapa seolah-olah hadis tersebut tidak fungsional dan gagal menemukan daya operasionalnya di dalam diri kita.

Dalam menjawab pertanyaan ini, Ibn ajar al-‘Asqalānī dalam Kitab Fatḥul al-Bārī ‘Alā Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī menjelaskan bahwa ḥalāwah al-imān sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadis di atas hanya bisa diperoleh dengan iṭmi’nān al-‘aql wa al-qalb (kenyamanan akal budi). Dan menurutnya lagi, akal-budi manusia baru bisa merasakan kenyamanan dan ketenangan jika ditopang oleh ilmu. Tanpa topangan ilmu hadis tersebut terasa normatif, datar dan hambar. Tetapi dengan topangan ilmu, hadis tersebut meliuk-liuk berakselerasi dan menemukan daya operasionalnya di dalam diri kita. Dengan demikian baru kita dapat merasakan ḥalawah al-imān.

Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī memberikan contoh. Setelah perang Badar, Nabi mendapatkan tawanan perang dalam jumlah relatif besar. Sebagian riwayat menyebutkan angka 73 orang Quraisy menjadi tawanan perang. Untuk membebaskan mereka, pimpinan Quraisy mengirimkan negoisator yang bernama Jubair bin Muṭ‘im al-‘Adī untuk menjumpai Nabi. Jubair ini seorang atheis (mu‘aṭil). Ia tidak percaya jika alam semesta yang berwujud nyata ini diciptakan oleh Pencipta. Dalam keyakinannya alam semesta ini berwujud dengan sendirinya.

Setibanya di kota Madinah, ia pun menjumpai Nabi. Nabi pun tau jika Jubair seorang atheis. Sebagaimana kebiasaan Nabi, setiap non Muslim yang mejumpainya pasti dibacakan kepadanya beberapa ayat al-Qur’an. Dan tradisi ini juga berlaku kepada Jubair. Namun ayat yang dipilihakan Nabi untuk dibacakan kepada Jubair bukanlah ayat normatif dan datar yang menjelaskan bahwa Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Allah juga yang telah mengatur pergantian siang dan malam sebagaimana terdapat dalam Q.S, 3:190. Tetapi dengan kecerdasan nubuwah, Nabi memilih ayat yang sesuai dengan keatheisan Jubair. Pada saat itu, Nabi memilih membacakan surat al-Ṭūr sehingga bacaan Nabi terhenti pada ayat 35 yang berbunyi “am khuliqū min ghairi syai’in am humu al-khāliqūn” apakah alam semesta (termasuk dirinya Jubair) yang wujudnya ada dan bisa dilihat dengan mata kepala manusia itu diciptakan oleh sesuatu yang tiada (al-‘adam). Atau alam semesta (termasuk Jubair) menciptakan dirinya sendiri. Ketika Nabi sampai pada ayat tersebut, Jubair tersentak dari lamunannya. Dan tiba-tiba seperti ada suara yang berbicara di dalam akal pikirannya, “ah benar juga ya, masak diri saya ini diciptakan oleh sesuatu yang tidak ada (‘adam) atau lebih mustahil lagi jika saya menciptakan diri saya sendiri. Padahal untuk mengada (berwujud) dan lahir di dunia, Jubair membutuhkan kedua orang tua. Dan melalui perkawinan kedua orangtuanya itu lah Jubair berada di dunia. Jadi kedua orang tua Jubair mesti ada (wajibul al-wujūd) agar Jubair bisa berada di dunia. Jika demikian kejadian berlaku pada diri Jubair, bagamaimanakah lagi kejadian pada alam semesta. Maka jika bumi dan langit berwujud, Allah adalah wajibul al-wujūd (sesuatu yang wajib ada) bagi terjwujudnya langit dan bumi.

Sesaat kemudian, setalah Jubair memahami dengan baik ayat 35 dari surat al-Ṭūr, ia pun merasakan ada yang salah selama ini dengan keyakinannya. Tanpa pikir panjang, ia pun meminta Nabi agar menuntunya mengucapkan dua kalimat syahadat. Menurut Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, peristiwa ini menandakan ḥalawah al-imān telah menemukan momentumnya pada diri Jubair. Dan Jubair mulai saat itu merasakan betapa manisnya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jika dia menyukai atau membenci sesorang mulai saat itu pasti kebencian dan kecintaannya tersebut berbasiskan kecintaan dan kebenciannya kepada Allah. Bahkan mulai saat itu, Jubair tidak mau kembali lagi ke Mekkah, kampung halamannya. Ia khawatir akan kembali kepada kekufuran dan kemusyrikan meskipun di Mekkah terdapat keluarga dan harta yang ditinggalkannya. Begitulah jika seseorang telah merasakan manisnya iman.

Comments

Popular posts from this blog

Teungku Chik Lamjabat

BLANG PADANG SIAPA PUNYA ???

MEWUJUDKAN GENERASI MUDA YANG BERAKHLAK (03042020)