PERENCANAAN MUSLIM DI AWAL TAHUN (03012020)

Dr. H. Mizaj Iskandar, Lc, LLM

Dalam suatu hadis Rasulullah bersabda, “Innallah ṭaibun lā yaqbalu illā ṭaibā” sesungguhnya Allah itu zat yang baik dan hanya menerima sesuatu yang baik. Tidak ada suatu ajaran pun yang berasal dari Allah melainkan hanya berisi kebaikan. Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada orang tua, beramal shaleh dalam kehidupan, mempererat hubungan silaturahim dan seterusnya. Semua perintah itu merupakan kebaikan yang sesuai dengan fitrah manusia.

Selaras dengan sabda Nabi di atas, Allah juga berfirman dalam Q.S, 4:79 “mā Aṣabaka min ḥasanatin faminallāh, wa mā aṣabaka min sai’atin famin nafsik”. Semua kebaikan bersumber dari Allah, sedangkan perbuatan dosa berasal dari manusia itu sendiri. Pernyataan Allah ini terlihat klise, seolah-olah Allah memonopoli kebaikain dan mengakmbinghitamkan manusia atas semua dosa. Tetapi jika firman itu dibaca dengan ilmu, pernyataan Allah tadi sangat masuk akal. Misalnya dalam Q.S, 2: 275 Allah hanya menghalalkan transaksi jual-beli, yaitu suatu transaksi pertukaran barang dengan nilai tertentu sebagai kompensasi dari pertukaran tersebut. Tetapi manusia karena keserakahannya, menciptakan transaksi ribawī, yaitu suatu transaksi yang hanya menguntungkan sepihak saja tanpa ada kompensasi apa pun kepada pihak yang lain. Contoh yang lain, perjumlahan yang benar dari 5+5 adalah 10, atau 5×5 adalah 25. Angka 10 dan 25 hasil dari perjumlahan 5+5 dan 5×5 bersumber dari Allah, tetapi karena kebodohannya, tetap saja ada manusia yang menjumlahkan 5+5 = 11 dan 5×5 = 24.

Hal inilah yang membuat Allah murka ketika Nabi berdakwah di tengah masyarakat Quraiys yang gemar melakukan perbuatan keji dan munkar seperti minum khamar, berjudi, membunuh anak perempuan hidup-hidup, mengalalkan riba dan seterusnya. Mereka menolak ajakan kebaikan Nabi dengan berkata “qālū wajadnā ‘alihā ābāanā wa al-āllāhu amaranā bihā”. Kami dituntun oleh nenek moyang kami dan juga Allah memerintahkan kami untuk melakukan perbuatan itu. Mendengar itu, Allah murka dan membalas, “ataqūlu ‘alā al-allāhi malā taf‘alūn” apakah kamu berani berkata sesuatu yang tidak engkau ketahui tentang Allah.

Di pihak yang lain kita diperintahkan untuk memiliki karakter yang sama dengan karakternya Allah, dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Takhallaqū bi akhlāqi al-allāh”. Berkarakterlah dengan karakter Allah. Syariat diturunkan dalam rangka melatih manusia untuk memiliki karakter ilahiyah. Allah tidak membutuhkan makan, minum dan istirahat. Manusia tidak bisa hidup tanpa makan, minum dan rebahan. Dalam rangka meniru karakter Allah, maka diturunkanlah syariat puasa, dengan puasa manusia bisa mengurangi makan dan minumnya. Begitu juga dengan shalat tahajud, shalat taraweh dan shalat witir, dengan shalat-shalat tersebut manusia bisa mengurangi waktu istirahatnya. Jika demikian, karakter Allah yang Maha Baik dan hanya meneri sesuatu yang baik harus menjadi rencana hidup muslim sejati.

Dari sinilah seorang ulama besar bermazhab Syāfi‘ī yang bergelar sulṭan al-‘ulamā (sultannya para ulama) dalam kitabnya Syajaratul al-Ma‘ārif wa al-Aḥwāl wa Ṣālih al-aqwāl wa al-a‘māl membuat satu bab pembahasan khusus yang diberi judul Wujūb Naf‘il al-‘Ibād fī Kulli al-Makān (kewajiban muslim bermanfaat di manapun berada). Untuk menguatkan argumentasi beliau tentang wajibnya (bukan sunnah) seorang muslim mendatangkan manfaat di mana pun dan kapan ia berada beliau mengutip kisah pembelaan diri Maryam ketika dihujat habis-habisan oleh kaumnya gara-gara punya anak tapi tak punya suami. Dalam terpojokkan Allah memerintahkan Maryam untuk tidak banyak bicara membela diri, karena itu hanya akan memicu masalah baru. Sebagai gantinya Allah memerintahkan Maryam agar kaumnya yang mengebully dirinya menanyakan langsung kepada anak yang dilahirkan oleh Maryam.

Mereka pun protes nyinyir sambil berkata, “Qalū kaifa nukallimu man kāna fī al-mahdi ṣabiyya” bagaimana mungkin kami berbicara dengan bayi yang masih dalam ayunan. Spontan keraguan mereka dibayar tunai Allah yang membuat bayi ‘Isā kecil berbicara seketika itu juga “qāla innī ‘abdullah ataniyal kitāba wa ja‘ālanī nabīyā” sesunggunya saya seorang hamba Allah, diberikan kitab suci dan dijadikan seorang nabi. “waja‘ālanī mubārakān ainamā kuntu wa awṣānī bi al- ṣalah wa al- zakah mā dumtu hayyā” dan Allah telah menjadikanku sebagai pembawa keberkahan di mana pu aku berada dan berwasiat untuk menegakkan shalat menuanaikan zakat selama hayat dikandung badan.

Oleh sebab itu, muslim sejati harus punya komitmen tinggi menebar kebaikan dan kapan pun ia berada. Bukankah Rasulullah sendiri telah bersabda “khair al-nās anfa‘uhum li al-nās” sebaik-baikya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Bukan sekedar retorika, Nabi juga ikut serta mencontohkan kebaikan dalam kehidupan sehari. Terlalu banyak cerita tentang kebaikan Nabi yang bisa dibaca dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah.

Penting bagi muslim sejati untuk selalu memiliki orientasi kebaikan. Sekarang identiknya seorang muslim hanya bisa teriak saling menyalahkan tanpa solusi, bertengkar anatara sesama hanya karena masalah khilafiyah, penceramah provokatif yang berseru anti sekolah, pemuda pembunuh waktu di kedai kopi dan seterusnya. Kemajuan Islam tidak mungkin disemai dengan perbuatan primitif seperti itu, kemajuan Islam hanya terjadi jika setiap individu muslim memadatkan hidupnya dengan aktivitas shaleh yang kaya manfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agama. Amien.

 

Khatib, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry  

Comments

Popular posts from this blog

Teungku Chik Lamjabat

BLANG PADANG SIAPA PUNYA ???

MEWUJUDKAN GENERASI MUDA YANG BERAKHLAK (03042020)